Rabu, 12 Desember 2018

5 SENIMAN TERKENAL DI INDONESIA DENGAN KARYA YANG MENGGERAKAN HATI

 Dewi Lestari




Pengarang Dewi Lestari bernama lengkap Dewi Lestari Simangunsong dan akrab dipanggil Dee. Sebelum dikenal sebagai penulis novel, sudah lebih dulu ia dikenal sebagai seorang penyanyi yang tergabung dalam Trio RSD (Rida Sita Dewi). Sebelum ia bergabung dengan RSD, ia pernah menjadi backing vokal untuk Iwa K, Java Jive, dan Chrisye. Sekitar bulan Mei 1994, ia bersama Rida Farida dan Indah Sita Nur Santi bergabung membentuk trio RSD atas prakarsa Ajie Soetama dan Adi Adrian. Anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm) ini lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Ayahnya adalah seorang anggota TNI yang belajar piano secara autodidak, sedangkan saudara-saudaranya pemain biola, guru piano profesional. Keluarga Dee sama seperti keluarga kebanyakan yang hidup sederhana dan harus pandai-pandai mengatur keuangan. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMU 2 Bandung, ia melanjutkan pendidikan hingga memperoleh gelar Sarjana Fisip jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung pada 1999. Kini, namanya termasuk dalam jajaran penulis perempuan yang diperhitungkan di dunia sastra Indonesia setelah ia meluncurkan novel Supernova Satu: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, 16 Februari 2001 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Sebelum ia banyak dibicarakan orang karena novelnya Supernova, ternyata cerpen Dee pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpennya "Sikat Gigi" pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, yaitu sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri. Tahun 1993 ia mengirim tulisan berjudul "Ekspresi" ke majalah Gadis yang saat itu mengadakan lomba menulis dan ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul "Rico the Coro" yang dimuat di majalah Mode. Bahkan, ketika masih menjadi siswa SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah. Sarjana jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini mengaku bahwa novel Supernova berawal dari pergumulan dan perenungannya yang dalam tentang spiritualitas. Di akhir 1999, ia merasa ada sesuatu yang salah dengan dirinya tentang pemahaman religi di tengah masyarakat. Dee mulai banyak membaca. Ia ingin tahu lebih banyak ajaran Hindu, Budha, Islam termasuk mengenal lebih jauh tokoh-tokoh dunia seperti Einstein dan Hawking yang dikenal brilian dalam mencari jawaban atas eksistensi manusia di muka bumi ini. Selama menulis Supernova Satu, Dee berdiam di rumah ditemani dua anjingnya. Selama berbulan-bulan ia tidur tidak teratur, tidur jam delapan pagi, bangun jam dua siang lalu kerja sampai pagi di depan komputer. Menurutnya, masa-masa itu adalah masa yang paling mendamaikan dan mengasyikkan, sedangkan kegiatan bersama RSD, dilakukannya dua kali seminggu. Dalam memasarkan Supernova Satu ini, Dee menggunakan uang tabungannya dan membentuk penerbit bernama Truedee Books. Alasan ia memilih merangkap menjadi penerbit selain menjadi penulis karena ia tidak ingin naskahnya diedit oleh penerbit apalagi ia sempat beberapa kali ditolak oleh beberapa percetakan. Pada Maret 2002, Dee meluncurkan Supernova Satu edisi bahasa Inggris untuk menembus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), seorang yang ahli dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Supernova pernah masuk nomine Katulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Sukses dengan novel Supernova Satu: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, bagian pertama Supernova Dua (Supernova 2.1 Akar) sudah lepas ke pasaran pada 16 Oktober 2002 di 20 kota utama Indonesia. Novel Supernova 2.1 sempat mendapat protes keras dari kalangan umat Hindu karena dianggap melecehkan lambang keagamaan Hindu, lewat surat tertanggal Bali, 26 Februari 2003 yang diatasnamakan Ketua Umum DPP FIMHD AA Ngurah Arya Wedakarna MWS dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Forum Intelektual Muda (FIMHD) Hindu Dharma yang berkedudukan di Bali. Mereka menolak dicantumkannya lambang OMKARA/AUM yang merupakan aksara suci BRAHMAN Tuhan yang Maha Esa dalam HINDU sebagai cover dalam bukunya. Akhirnya, disepakati bahwa lambang Omkara tidak akan ditampilkan lagi pada cetakan ke-2 dan seterusnya. Dalam memasarkan Supernova 2.1 Akar, Dee memilih tidak lagi memasarkan sendiri bukunya. Ia menjalin kerja sama dengan BArK Communication, suatu perusahaan penerbitan yang sekaligus perusahaan promosi. Di samping BArK, muncul sebuah wadah baru, Truedee Semesta. Di BArK dan Truedee Semesta, Dewi memiliki sejumlah saham dan mendapatkan royalti sekitar 20%. Namun, sayang, pertengahan tahun 2003, Dee akhirnya berpisah jalan dengan penerbit buku keduanya ini dan kini ia kembali sendiri memasarkan bukunya. Novelnya yang lain Perahu Kertas (Bentang, 2009), Rectoverso (2008), dan Madre (2013)







CHRISYE





Chrisye, Musisi Indonesia yang Tak Lekang Oleh Waktu
Chrisye © breakingnews.co.id
Penyanyi kelahiran 6 September 1949 ini memiliki suara yang khas. Penggemarnya datang dari banyak kalangan, dari tua hingga muda. Kariernya yang gemilang di dunia musik menyisakan banyak kenangan bahkan setelah mendiang meninggal dunia.

Lelaki pemilik nama Christian Rahardi yang kemudian diubah menjadi Chrismansyah Rahardi ini mengawali kariernya bukan sebagai penyanyi. Walaupun hingga sekarang dirinya dikenal sebagai penyanyi, dulunya ia mengawali kariernya sebagai pemain bass.
Awal kariernya bermula dari ajakan Gauri Nasution, tetangga terdekatnya, untuk menggantikan pemain bass band Sabda Nada yang sedang sakit. Sebelumnya, Gauri dan Chrisye memang sering main gitar dan bernyanyi bersama. Bass dipilih Chrisye karena menurutnya, bass alat musik yang mudah dimainkan.
Karena kemampuan Chrisye dianggap memuaskan, maka Chrisye direkrut untuk menjadi pemain bass tetap dalam band tersebut. Selain bermain bass Chrisye pernah beberapa kali diminta untuk bernyanyi saat tampil di panggung.
Chrisye mulai bergabung di Sabda Nada tahun 1969, dan saat itu Sabda Nada berubah nama menjadi Gipsy. Pada awal kemunculannya, Gipsy mulai mendapat tawaran dari Ibnu Sutowo, pejabat Pertamina, untuk menjadi band pengisi di restoran milik Pertamina yang letaknya di New York. Namun malang, Chrisye tak bisa bergabung karena ayahnya melarang. Ayah Chrisye melarang bukan tanpa sebab, Chrisye yang masih memiliki tanggungan untuk berkuliah membuat ayahnya tidak mengizinkannya.
Sebab larangan ayahnya itu, Chrisye sempat jatuh sakit. Namun, akhirnya Chrisye mendapatkan izin dari ayahnya. Chrisye lalu mengundurkan diri sebagai mahasiswa di Akademi Pariwisata Trisakti, dan pergi ke New York bersama Pontjo menyusul Gipsy. Setelah kontraknya selesai, mereka kembali ke Indonesia.
Karier Chrisye semakin berkembang, ia kembali ke Amerika Serikat dan bergabung The Pro’s. Namun saat itu datang kabar bahwa adik laki-lakinya, Vicky, meninggal dunia. Sayangnya, ia tak bisa kembali ke Indonesia saat itu juga. Pikiran Chrisye yang kalut membuatnya terus menangis dan depresi saat dalam pesawat perjalanan pulang.
Sempat cukup lama tidak bermusik, akhirnya Keluarga Nasution memberikan tawaran lagi untuk bergabung dalam proyek baru garapan Keluarga Nasution bersama Guruh Soekarnoputra bernama Guruh Gipsy. Mereka memainkan musik beraliran rock progresif yang digabungkan dengan musik gamelan Bali.
Selama berkarier bersama Guruh Gipsy, mereka melakukan rekaman di Laboratoriun Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa yang memakan waktu lebih dari setahun.
Setelah itu albumnya dirilis pada tahun 1977 (beberapa sumber menulis, album tersebut dirilis pada akhir 1976) dan pendanaan dibantu oleh Pontjo, kawan lama mereka yang telah sukses meniti kariernya sebagai pengusaha. Dalam grup musik ini, Chrisye menjadi vokalis bersama Keenan Nasution.

Sepanjang perjalanan kariernya, tahun 1977 merupakan permulaan kepopuleran Chrisye. Ia membawakan lagu “Lilin-Lilin Kecil”. Lagu tersebut diciptakan oleh James F. Sundah untuk ajang lomba Cipta Lagu Remaja 1977 yang diadakan Radio Prambors. Awalnya Chrisye menolak tawaran Yockie Suryoprayogo untuk menjadi vokalis di album Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors, namun akhirnya Yockie berhasil meyakinkan Chrisye.
Namun siapa sangka, lagu tersebut mendongkrak kepopuleran Chrisye saat itu. “Lilin-Lilin Kecil” menjadi hit laris dan album Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors 1977 menjadi album terlaris saat itu. Tak berhenti di situ, lagu “Lilin-Lilin Kecil” masuk kedalam peringkat 13 di daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik versi Rolling Stone Indonesia.
Karier Chrisye terus memuncak. Label Pramaqua Records menawarkannya untuk membuat album lalu ia menyetujuinya. Dalam album yang digarapnya, banyak musisi Indonesia yang terlibat dalam pembuatannya. Chrisye yang menjadi vokalis sekaligus pemain bass digiring oleh Yockie di bagian keyboard, Ian Antono di bagian gitar, dan Teddy Sujaya di bagian drum. Album debut tersebut berjudul Jurang Pemisah. Namun sayangnya, penjualannya dianggap gagal.
Di saat itu, Eros Djarot mengajak Yockie dan Chrisye menggarap lagu latar film Badai Pasti Berlalu. Dalam penggarapannya, Chrisye santai dan tidak memikirkan keuntungan atau royalty dari pembuatan album ini. Namun ternyata album ini berhasil laku di pasaran dan mendapat peringkat 1 dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik versi Rolling Stone Indonesia.
Meski begitu, Chrisye terus dapat tetap mengikuti perubahan zaman. Segala musisi dari senior hingga musisi yang lebih muda darinya pun ikut terangkul, seperti naïf hingga Eross Chandra dari Sheila on 7. Pantas saja jika penggemarnya pun datang dari banyak kalangan.
Sejak awal kariernya melejit, hingga sekarang pun lagu-lagunya tetap terus dimainkan di banyak kesempatan. Lagu yang ia bawakan memiliki karakter yang khas sehingga kebanyakan musisi sulit untuk menyanyikan ulang lagu-lagunya.
Sepanjang hidupnya ia pernah berkata bahwa ia tidak akan berhenti bermusik sampai ia tidak mampu lagi. Bahkan saat dirinya divonis dokter bahwa ia mengidap kanker stadium 4, ia terus berkarya dan merilis album. Dan sekarang, Chrisye tetap terus menjadi pujaan para penggemarnya, bahkan saat banyak musisi baru bermunculan, Chrisye tetap menjadi musisi yang selalu memiliki ruang di hati penggemarnya

BASUKI ABDULAH





Basuki Abdullah adalah seorang pelukis potret. Beliau sangat berbakat terutama ketika melukis wanita cantik. Keahliannya dalam melukis membuat lukisannya tampak lebih indah dan cantik dibandingkan dengan wujud asli gambarnya.
Basuki Abdullah juga dikenal sebagai pelukis yang menganut aliran realisme dan naturalisme.

ASAL BASUKI ABDULLAH
Basuki Abdullah adalah seorang pelukis terkenal yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda. Beliau lahir pada tanggal 27 Januari 1915 dan meninggal pada tanggal 5 November 1993 di Jakarta.
Sejak kecil, sekitar umurnya 4 tahun beliau sudah memiliki kegemaran dalam melukis. Pada saat itu, beliau sempat melukis beberapa tokoh terkenal yang diantaranya adalah Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus, dan Krishnamurti.



RIWAYAT PENDIDIKAN
Pendidikan formal Basuki Abdullah adalah :
HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Katolik, Solo
Academia Voor Beeldende Kunsten di Den Haag, Belanda. Melanjutkan pendidikan di Belanda karena beliau mendapatkan beasiswa. Selain itu, beliau juga mendapatkan penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).

ORGANISASI YANG PERNAH DI IKUTI BASUKI ABDULLAH
Gerakan Poetra
Pada tanggal 19 Maret 1943 yaitu pada masa penjajahan Jepang, Basuki Abdullah bergabung dengan Gerakan Poetra (Pusat Tenaga Rakyat). Di Gerakan Poetra, beliau mendapatkan tugas untuk mengajar seni lukis.
Keimin Bunka Sidhosjo
Keimin Bunka Sidhosjo merupakan sebuah organisasi pusat kebudayaan milik Jepang. Pada saat itu, beliau mengikuti organisasi ini bersama dengan Affandi Koesoema, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basuki Resobawo.

PENGHARGAAN YANG DIDAPATKAN BASUKI ABDULLAH
Semasa hidupnya, Basuki Abdullah banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Beberaoa contoh penghargaannya yaitu :
Memenangkan sayembara melukis dengan mengalahkan 87 pelukis Eropa pada tanggal 6 September 1948.
Menjadi pelukis Istana Merdeka
Mendapatkan beasiswa untuk belajar di Akademik Seni Rupa di Belanda.
Mendapatkan penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA)

HASIL KARYA LUKISAN BASUKI ABDULLAH







"Lady with Kebaya" oleh Basuki Abdullah






"Balinese Beauty"



BAGONG KUSSUDIADRJA

Bagong Kussudiardja dikenal sebagai pelopor tarian modern Indonesia. Menurut kritikus tari Sal Murgiyanto, ada tiga seniman pelopor tari modern Indonesia. Ketiganya berlatih pada Martha Graham, seniman tari legendaris yang terkenal dengan teknik-tekniknya yang mendobrak batasan.

Tiga seniman itu Bagong Kussudiardja, Seti-Arti Kailola dan Wisnu Wardhana. Pada 1957-1958, Bagong mempelajari teknik tari modern arahan Martha Graham dan memperkenalkannya di Tanah Air.

Bagong menggabungkan unsur-unsur modern dalam tarian Jawa dan mendirikan Pusat Latihan Tari (PLT) pada 5 Maret 1958. Lalu ia juga menjadi pendiri Padepokan Seni Bagong Kussudiardja pada 2 Oktober 1978 yang sampai saat ini masih diketuai oleh anaknya, Butet Kertaradjasa.

Darah seniman dalam diri Bagong mengalir juga ke dua anaknya, Butet dan Djaduk Ferianto. Butet dikenal sebagai pemain teater dan pelawak kawakan asal Indonesia. Butet bisa dikatakan aktor yang mumpuni saat pentas monolog. Aksinya yang sangat terkenal adalah dengan menirukan suara mantan presiden RI, Soeharto dalam setiap pementasannya.

Ia pernah memerankan tokoh SBY (Si Butet Yogja) dalam Republik Mimpi di Metro TV dan pindah tayang di TV One yang merupakan pameo dari presiden RI, SBY. Selain itu ia juga memerankan beberapa film layar lebar seperti Maskot dan Banyu Biru. Selain itu ia juga tampil dalam beberapa iklan televisi, dan sinetron. Sejak 2010 bersama aktor Slamet Rahardjo dan komedian Cak Lontong, Butet bermain dalam program mingguan Sentilan-Sentilun di MetroTV.

I NYOMAN NUARTA


I Nyoman Nuarta merupakan tokoh seni rupa yang berasal dari Bali, lahir di Tabanan, Bali pada tanggal 14 November 1951. Nyoman Nurarta merupakan putra keenam dari sembilan bersaudara dari pasangan Wirjamidjana dengan Semuda. Nuarta dari kecil di didik oleh pamannya yang merupakan seorang guru Seni Rupa dan Nuarta di ajari untuk belajar seni patung kotemporer oleh Sumbangsi Ketut Dharma Susila. Nuarta melanjutkan sekolahnya di ITB dan memilih jurusan Seni Rupa di tahun 1972 sebelumnya dia memilih jurusan Seni Lukis tapi pindah ke jurusan Seni Patung di tahun kedua studinya. Ternyata dia berbakat di bidang Seni Patung dan mengantarkannya di  perlombaan Patung Proklamator Republik Indonesia. Banyak karya yang sudah dia hasilkannya, kebanyakan karyanya merupakan patung modern yang memiliki gaya naturalistik dan materi yang dibuat dari bahan tembaga dan kuningan.

Karya-karyanya yang terkenal adalah Patung Grauda Wisnu Kencana (Badung,Bali), Menumen Jalesveva Jayamahe (Surabaya), Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta),Patung Wayang (Solo), Monumen Arjuna Wijaya (Jakarta), Patung Putri Melenu (Kalimantan Timur), Patung Timika di alun-alun Newtown Freeport (Irian Jaya) dan masih banyak lagi. Karyanya juga dipajang di berbagai ajang seperti, The Dialogue of 12 Indonesia Artists,Jakarta (1997), The World Economic Forum (WEF) Exhibition, Davos Switzerland (1997), The Sculpture Exhibition of The APEC Countries, Phillipines (1996), Asian Modernism Exhibition, Tokyo (1995), Joint Exhibition of ITB’s Alumni, Badung (1995), dan The Contemporary Art of the Non Aligned Countries Exhibition, Jakarta (1995). Bagi Nyoman Nuarta patung memiliki tiga kekuatan yaitu, pertama menjadikan sebagai ikon di tengah publik dan menjadikan milik publik. Kedua, patung dijadikan elemen estetik yang akan menghibur mata. Ketiga, patung digunakan untuk pengikat dari sebuah kawasan atau sebagai simbol untuk mengikat suatu lokasi.